Tatkala organisasi profesi arsitek di Inggris pertama kali didirikan dengan nama Institute of British Architects pada tahun 1834, disebutkan bahwa tujuan utamanya adalah “To uphold ourselves the character of Architects as men of taste, men of science, and men of honour.” (Conway & Roenisch, “Understanding Architecture,”, 2005).
Kenapa arsitek disebut sebagai laki-laki yang punya selera, laki-laki yang berilmu, dan laki-laki yang bermartabat?
Tak bisa diingkari bahwa dalam abad ke-19 boleh dikata semua profesional berjenis kelamin laki-laki. Bahwa terkisah di Swiss jaman dulu, hanya laki-laki yang memilki hak suara dan ikut dalam pemilu. Sebelum memilih, para lelaki itu mesti meletakkan pedang masing-masing di atas meja Komisi Pemilihan Umum.
Bahkan di negara semaju Amerika Serikat pun, konon wife itu diartikan sebagai akronim dari washing, ironing, fun, entertaining. Mirip dengan isteri menurut faham masyarakat Jawa yang sering disebut sebagai ’Kanca wingking’ alias teman di belakang. Tugas isteri orang Jawa adalah masak, asah-asah (cuci piring), umbah-umbah (cuci pakaian), dan lumah-lumah (bercengkerama).
Baru pada abad ke-20 muncullah gerakan menuntut kesetaraan gender, feminisme, menangkal patriarkalisme. Tidak terkecuali dalam disiplin ilmu dan profesi arsitektur. Muncul kecaman bahwa penataan ruang, kota, wilayah, dan arsitektur terlalu didominasi pemikiran laki-laki, kurang memperhatikan aspirasi wanita (dan anak-anak) yang cenderung dimarjinalkan.
Prof. Agnes Widanti mengutip pendapat Francis Bacon yang menggambarkan hubungan ilmuwan dan profesional dengan alam dan lingkungan seperti halnya hubungan lelaki dan perempuan dalam perkawinan yang bersifat patriarkhal (baca buku Darmawan & Purwanto, “Arsitek Indonesia Menghadapi Tantangan Globalisasi”, 2009).
Jadi Bacon mengungkapkan dua macam dominasi sekaligus yaitu dominasi ilmu terhadap alam dan dominasi laki-laki terhadap perempuan.
Gerakan “Eco-Feminism’ menilai bahwa kekerasan terhadap perempuan dan perusakan terhadap lingkungan merupakan dua gejala yang saling berhubungan satu sama lain.
Dengan kata lain, kerusakan dan kehancuran lingkungan selama ini bukan hanya akibat pandangan anthroposentris semata-mata, melainkan juga karena paham dan praktik androsentris. Berarti bahwa keadilan ekologis tidak berlangsung dengan baik karena adanya ketidakadilan gender.
Gerakan feminis dalam berbagai bidang berusaha memperjuangkan perubahan struktur-struktur yang tidak adil dan sistem simbol yang timpang, agar tercipta struktur-struktur baru yang seimbang, mengakomodasi saling hubungan timbal balik yang setara, peduli terhadap kelompok marjinal, dan memelihara harmoni denganbumi.
Bila direnungkan lebih dalam, gerakan feminis tersebut mirip dengan kebangkitan kembali aliran Sufi yang menekankan pada 3 aspek: cinta, keselarasan (harmony), dan keindahan (“Gentler Islam”, Majalah Time edisi 17 Agustus 2009).
Memang terasa agak menyengat, seolah-olah laki-laki hanya berurusan dengan kekuatan, kekerasan, kekuasaan, menomorduakan kelembutan, keserasian, estetika.
Postur laki-laki memang diasosiasikan dengan kekuasaan, ketegaran, kekokohan, simetri, sedangkan postur wanita tampil lebih bernuansa kelembutan, keluwesan, kelenturan, asimetri. Laki-laki dilambangkan ibarat serdadu dengan pakaian seragamnya, dan wanita dilambangkan ibarat gadis dengan selendang di bahu kanan dan tas di tangan kirinya.
Gender dan Arsitektur
Bicara tentang seks dan arsitektur tidak terbatas pada para arsitek sebagai pelakunya saja, melainkan juga menyangkut karya-karya arsitektur yang diciptakannya. Apakah ada watak gender dalam arsitektur? Adakah arsitektur ’jantan’ (male) dan arsitektur ’betina’ (female)? Beberapa arsitek kritikus menyatakan bahwa “Male architecture is architecture that expresses heaviness, strength, or power”.
Dari pernyataan tersebut di atas, muncullah berbagai pertanyaan. Di antaranya adalah: ”Apakah candi-candi seperti Borobudur karya Wiswakharman yang tercipta dari bebatuan keras dan gedung-gedung pencakar langit seperti Menara Dubai atau Burj Khalifa karya Shidmore, Owings & Merrill (SOM) itu termasuk kategori arsitektur yang maskulin atau jantan?”
Sekelompok arsitek kritikus yang sama mendefinisikan bahwa ”Female architecture is architecture that seems to express femininity, something womanly, about the shape, size, proportions, color, or texture”.
Nah, muncullah pertanyaan yang menggelitik.
Apakah Singapore Explanade dan Museum Guggenheim di Bilbao Spanyol yang serba plastis dan penuh lekuk-liku itu bisa disebut sebagai arsitektur yang feminine atau betina?
Berikutnya muncul lagi tanda-tanda besar. Apakah gedung Twin Tower yang runtuh di New York dan Petronas Tower di Kuala Lumpur bisa disebut sebagai karya arsitektur gay, homo, atau lesbian?
Pernyataan-pernyataan maupun pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas memang terasa sedikit absurd. Kendati begitu, cukup banyak arsitek-ilmuwan maupun profesional yang dengan amat bersungguh-sungguh menjelajahi dan mengamati keterkaitan antara arsitektur dan ruang dengan anatomi dan seksualitas manusia. Bermunculanlah aneka pendapat lengkap dengan argumentasi pendukungnya.
Misalnya, bahwa kejantanan tidak selalu harus ditunjukkan dalam bentuk ketinggian atau yang menyerupai penis laki-laki. Museum seni Herbert F. Johnson di Cornell University karya I.M. Pei misalnya, bisa dikategorikan sebagai arsitektur jantan karena komposisi arsitekturnya yang terkesan serba berat, tegas, perkasa. Sebaliknya, citra feminin juga tidak selalu diekspresikan dalam wujud lembut dan lunak.
Sekadar contoh adalah Sydney Opera House karya Jorn Utzon, yang memang dinilai feminin karena bentuk lengkungnya, namun terkesan amat berani, memancarkan ‘bold female energy’.
’Androgynous Architecture’
Selain itu ada pula karya-karya arsitektur yang sekaligus memiliki kualitas kejantanan dan kebetinaan. Barangkali teksturnya bersifat jantan tetapi bentuknya betina. Atau warnanya berkualitas kewanitaan yang lembut, tetapi proporsinya berbentuk jantan yang serba kokoh.
Beberapa arsitek kritikus menyebut karya arsitektur yang memiliki karakteristik ganda campuran jantan dan betina itu dengan istilah ’androgynous architecture’. Contohnya adalah gedung Taj Mahal di Aqra, India.
Kiranya perlu dipahami bahwa gender dari arsitek (laki-laki atau wanita) tidak berpengaruh pada gender dari karya arsitekturnya (jantan atau betina)
Dicontohkannya karya-karya Julia Morgan berupa aneka bangunan di kompleks Hearts Castle yang bervariasi. Ada yang termasuk kategori jantan, ada yang betina, dan ada pula yang androgynousatau campuran antara keduanya.
Dalam jurnal Japan Architect paling mutakhir edisi Winter 2010, dikisahkan tentang Sayembara Shinkenchiku Residential Design yang dimenangkan oleh wanita arsitek Christina Lyons bersama Julian King dari Amerika Serikat, sebagai juara pertama dan Yuuki Takayama, wanita arsitek dari Jepang, sebagai pemenang kedua. Pemenang ketiganya baru laki-laki arsitek dari Inggris. Indonesia bersama-sama Malaysia, Singapura dan Vietnam, masing-masing mengikutkan satu peserta, namun sayang belum berhasil.
Wanita-wanita arsitek itu menyuguhkan alternatif yang tak terduga berupa karya arsitektur dilihat dari perspektif yang bergerak (gambar hidup), arsitektur sebagai suatu cerita, dan arsitektur yang transendental dan imajiner, lebih dari sekadar cerminan realitas sehari-hari.
Meminjam kata-kata Jun Aoki sebagai juri: ”Experiencing architecture’s physical reality still allows people to feel another reality – to feel fiction. Works of architecture are not simply objects to be seen; they are not just one of the many elements that make up our ordinary reality; they are not merely manifestations of a given system. Architecture does exist as objects, but the essence of architecture is manifested in our experience of those objects that allow us to encouter realms beyond our ordinary experiences.” (Japan Architects, Winter 2010).
Nah, para wanita arsitek yang memenangkan sayembara itu dengan penuh percaya diri telah berhasil mengguncang profesi arsitek yang didominasi lelaki (a male dominated profession), sekaligus menawarkan alternatif dan gatra atau dimensi baru yang menawan, indah, mengejutkan.
Arsitektur dan Sensualitas
Sesudah membicarakan lelaki arsitek dan wanita-arsitek dengan berbagai karyanya baik yang dinilai jantan, betina, maupun androgynous, mau tidak mau mesti dikemukakan pula tentang sensualitas dalam arsitektur.
Beberapa arsitek kritikus berpendapat bahwa arsitektur memiliki sensualitas bila karya tersebut “pleasing to both the eyes and the fingers… hand-crafted from the earth”.
Dicontohkannya seperti rumah-rumah adobe pueblo yang terbuat dari tanah liat dan dibentuk oleh tangan-tangan manusia, dengan penampilan yang eksotik. Untuk kasus Indonesia barangkali perumahan kampung Ledok Code di Yogyakarta dan Kompleks Citra Niaga di Samarinda termasuk kategori karya arsitektur yang sensual. Tidak heran bila kedua karya tersebut termasuk dalam buku “The Best Architecture in the World” (2000) dari Indonesia.
Bila menyangkut kuil dan candi yang erotik, dari India adalah candi Khajuraho dengan rating X, sedangkan dari Indonesia barangkali candi Sukuh di Sragen yang secara eksplisit menampilkan bentuk organ seks pria.
Neuter Architecture
Di samping karya-karya arsitektur yang merupakan hasil ciptaan manusia yang “poetic in conception, aesthetically inspiring, structurally firm, environmentally sound, and meticulously crafted” sebagaimana yang dirumuskan oleh Roger K. Lewis (Árchitect?”, 1998), tentu banyak pula karya-karya yang tidak menyentuh senar-senar emosi, tidak menggugah jiwa, tidak menarik, anonim, tunggal rupa atau monoton. Atau dengan satu kata: jelek. Bangunan-bangunan seperti itu, yang tidak memiliki ‘sense of masculine or feminine energy’, tidak menggetarkan indera manusia, memperoleh predikat sebagai ‘Neuter Architecture’. Bangunan-bangunan serba polos berupa kotak kaca (glass box buildings) bisa disebut dengan neuter architecture, karena sama sekali tidak menghiraukan kaidah arsitektur sebagai karya seni dan teknologi yang direkat dengan idealisme sosio-kultural dan energi kreatif.
Para Perancang neuter architecture itu lupa bahwa mereka dituntut dan mengemban amanah untuk menciptakan karya “Architecture as archeology of the future” yang autentik, orisinal, bukan sekadar contekan atau jiplakan dari karya-karya lain yang sudah pernah ada. Sebagian besar Masyarakat sebetulnya sudah bosan, bahkan sebal dan muak dengan merebaknya gejala ‘Manhattanization’ atau ‘McDonaldization’ di berbagai kota besar dan kota raya di segenap pelosok tanah air kita, karena menggerus jatidiri atau identitas kota, dan melunturkan harga diri warga kotanya.
“Arsitektur Glorekal”
Lepas dari wacana tentang gender atau seks, yang berkaitan dengan dunia arsitektur di tanah air, sesungguhnya yang tak kalah merisaukan adalah pengaruh globalisasi negara-negara Barat (oksidental) yang amat deras ‘menggurita’ mencengkeram negara-negara Timur (oriental).
Para arsitek muda di Republik Rakyat China (RRC) misalnya, dengan galak mengecam bahwa bangunan-bangunan baru hasil karya arsitek-arsitek asing di kota-kota besar di segenap pelosok RRC itu sangat ‘tidak China’. Antara lain karena terlalu banyak menggunakan baja, yang di RRC merupakan bahan langka, tidak memanfaatkan sumberdaya dan kearifan lokal, dan amat mahal biayanya (Christian Dubrau, “New Architecture in China”, 2008).
Sekelompok arsitek Asia yang merasa gerah dan gelisah mengamati kecenderungan homogenisasi arsitektur dan kolonialisme budaya lewat globalisasi itu lantas bergabung dalam suatu gerakan perlawanan budaya (counter-culture movement).
Fumihiko Maki (Jepang), William Lim (Singapura), Sumet Jumsai (Thailand), Charles Correa (India) merupakan figur-figur yang berpengaruh dalam pembentukan Asian Planning and Architectural Collaboration (APAC) pada tahun 1980-an.
Pengaruh APAC cukup menggigit, karena bahkan arsitek-arsitek kelas dunia seperti Paul Rudolph, I.M. Pei, Norman Foster, dan lain-lain lantas berupaya keras menciptakan karya arsitektur yang responsif terhadap tempat, iklim, budaya, dan aspirasi lokal (Hassan-Uddin Khan, “Contemporary Asian Architecture,” 1995).
Kiranya sudah saatnya para arsitek di seluruh pelosok nusantara tercinta menggalang kekuatan menangkal pengaruh negatif globalisasi dengan tekad membara menciptakan arsitektur glorekal. Maksud saya, mengglobal dengan semangat regional berbasis sumberdaya lokal. Sumberdaya lokal itu mencakup sumberdaya manusia, alam, budaya, teknologi, dan finansial.
Kriteria penilaian “The Best Architecture in the World”, “The Aga Khan Award for Architecture” dan semacamnya yang menilai tinggi pendayagunaan kearifan dan keunikan lokal, transformasi nilai-nilai vernakular, kohesi sosial, peranserta masyarakat, perlu menjadi pumpunan (fokus) perhatian kita semua.
Kita coba kembangkan pula diskurssus yang menyangkut isu-isu hangat seperti perubahan iklim, pemanasan global, pencegahan bencana, kota hijau, arsitektur berkelanjutan, dan semacamnya.
Diperlukan alternatif dan terobosan-terobosan baru dengan berfikir lateral (Edward de Bono), nggiwar (Romo Mangun) atau out of the box (Rob Eastaway), untuk bisa jadi pencipta dan bukan pengikut kecenderungan.